Senin, 02 Mei 2005

Sekolah Alternatif Bagi Kaum Miskin

Perlu Dukungan Dana dari Pengusaha
Sekolah Alternatif Bagi Kaum Miskin

BERDASARKAN data BPS, penduduk miskin Indonesia pada 2003 sebanyak 37 juta jiwa. Mayoritas kaum papa ini hidup di pedesaan dengan fasilitas untuk menopang kehidupan mereka sehari-hari sangat terbatas.
Keberadaan rumah sakit, sekolah di banyak pedesaan di negara kita masih belum mampu mengakomodasi hak-hak dasar kaum miskin. Kehidupan mereka yang secara finansial amat lemah semakin membuat mereka sulit untuk mengakses fasilitas-fasilitas pendidikan atau kesehatan yang jumlahnya sangat terbatas itu.
Jika banyak dari masyarakat kita yang sampai saat ini sulit untuk mengakses kebutuhan dasar seperti pendidikan, bagaimana program wajib belajar 9 tahun bisa berjalan sukses?
Tidak meratanya pembangunan di negara ini telah membuat sejumlah wilayah masih terisolasi. Sebagai contoh, banyak area yang sampai kini belum memilik sarana transportasi dan komunikasi yang memadai.
Kita bisa bayangkan, bagaimana masyarakat yang hidup di tempat-tempat terpencil dan di sejumlah area lainnya yang merupakan kantung-kantung kemiskinan akan sangat sulit untuk mengakses pendidikan wajar 9 tahun?
Begitu juga dengan akses pendidikan bagi masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah konflik, seperti Poso, Ambon, dan lain-lain. Tidak bisa disangkal, masih tingginya tingkat konflik horizontal berimplikasi buruk terhadap pelaksanaan wajar 9 tahun.
Akibatnya, banyak mereka yang tinggal di daerah konflik, akses untuk mendapat pendidikan menjadi terputus sama sekali. Hal ini tentunya tidak bisa dibiarkan. Bagaimanapun, pendidikan untuk masyarakat yang tinggal di wilayah konflik juga harus bisa diakomodasi. Bukankah program wajar 9 tahun itu harus diikuti seluruh masyarakat Indonesia tanpa kecuali?
Untunglah sejumlah kelompok masyarakat kita yang peduli dengan kaum marginal di negara ini mampu memberikan kontribusi positif berupa pembuatan sejumlah sekolah khusus orang miskin. Mereka percaya, pendidikan merupakan obat mujarab untuk mengubah seseorang, dari yang miskin menjadi tidak miskin, dari yang bodoh menjadi berpengetahuan.
Sejumlah model sekolah pun mereka kembangkan untuk pendidikan kaum miskin. Di antaranya, model sekolah alternatif di Salatiga, sekolah gratis Alfa Centauri di Bandung, dan model sekolah di wilayah-wilayah konflik. Berikut ini akan diulas sejumlah sekolah yang bisa dikatakan cukup berhasil mengakomodasi hak-hak orang miskin untuk mendapatkan pengajaran.
QT dan Centauri
Penyelenggaraan model sekolah alternatif di Salatiga, yakni SMP alternatif Qaryah Thayyibah (QT) terbilang sangat sukses. Bahkan, gaung kesuksesan sekolah tersebut terkenal di Indonesia. Sekolah itu pun kini jadi inspirasi bagi masyarakat di wilayah lain untuk membuat sekolah sejenis SMP alternatif QT.
Ide pembuatan SMP alternatif QT di Desa Kalibening, Salatiga berangkat dari keprihatinan Baharuddin, warga desa setempat yang kini menjabat sebagai kepala di sekolah tersebut, atas mahalnya biaya pendidikan. Masyarakat setempat yang hidup dalam kemiskinan, tidak akan mampu menyekolahkan anak-anaknya. Untuk kehidupan sehari-hari saja warga Kalibening sudah sulit memenuhinya, apalagi menyediakan biaya sekolah, buku, transportasi. Akibatnya, banyak anak di desa itu yang hanya bersekolah sampai SD, itu pun banyak yang tidak lulus.
Melihat kondisi desanya itu, Baharuddin menginginkan adanya perubahan dan dia pun segera memutuskan untuk mendirikan sekolah setingkat SMP untuk membantu warga miskin mengakses pendidikan murah dan berkualitas.
Melalui rembukan di antara warga setempat, disepakati pembuatan sekolah alternatif QT yang kurikulumnya tetap didasarkan pada kurikulum nasional (kurnas). Hanya, pada sekolah QT, muatan pengetahuan teknologi informasi dan bahasa Inggris mendapat porsi yang lebih banyak.
Bantuan koneksi internet dari kawan Baharuddin membuat sekolah QT tidak pernah putus dengan jaringan informasi dunia. Para anak didik semangat untuk menggunakan internet guna menghapuskan rasa haus mereka akan ilmu. Hasilnya, sekolah QT bisa unggul jauh dibandingkan sekolah induknya. Bahkan, sejumlah muridnya berhasil menjuarai kontes pidato bahasa Inggris mengalahkan para siswa yang berasal dari sekolah yang berbiaya mahal.
Meski mengadopsi kurnas, Baharuddin mengadopsi pendidikan yang membebaskan muridnya berperan aktif dalam kelas. Para murid, yang merupakan anak-anak dari buruh tani setempat, begitu lantang berbicara di kelas. Mereka berani mengemukakan pendapatnya sendiri. Tentunya, sikap-sikap seperti ini sangat baik sebagai modal mereka untuk mengarungi kehidupan nanti.
Selain sekolah QT di Salatiga, di Bandung ada juga sekolah yang dikhususkan untuk orang miskin, yakni SMA Alfa Centauri. Sekolah ini digagas oleh Sony Sugema, salah seorang pengusaha bimbingan belajar (bimbel). Sony melihat banyak orang miskin yang pintar tidak bisa meneruskan sekolah karena keterbatasan finansial orang tua mereka.
Akhirnya, dengan mengalokasikan sejumlah keuntungan bisnisnya, SMA Alfa Centauri pun didirikan pada Juli 2003. Sekolah ini memang benar-benar gratis. Tidak heran, banyak yang tertarik untuk sekolah di sana. Tentu saja, tidak semua bisa diterima. Karena itu, pihak penyelenggara pendidikan di SMA Alfa Centauri mengadakan seleksi untuk memilih siapa saja yang berhak sekolah di SMA yang terletak di Jln. Supratman Bandung itu.
Model sekolah ala Sony ini seharusnya bisa juga diteladani para pengusaha lainnya. Bagaimanapun, suksesnya wajar 9 tahun butuh kerja sama dari berbagai pihak, termasuk melibatkan peran aktif pengusaha sebagai penyokong dana guna terselenggaranya pendidikan yang berkualitas dan mengakomodasi kepentingan orang miskin.
Daerah konflik
Model sekolah alternatif di sejumlah wilayah konflik, berawal dari hancurnya fasilitas pendidikan seperti yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah pascakonflik Mei 2000. Agar hak masyarakat mengakses pendidikan dasar tidak terputus, sejumlah masyarakat dan LSM yang peduli dengan pendidikan, memutuskan membuat sekolah alternatif.
Para siswa di wilayah Poso dikumpulkan tanpa melihat perbedaan latar belakang mereka, baik dari unsur sara maupun status ekonomi. Para anak didik diberikan pengertian bahwa perbedaan suku, agama di antara mereka bukan sesuatu yang harus dipertentangkan.
Tentu saja, peran mentor atau guru pembimbing untuk mendidik anak-anak di wilayah konflik sangat vital. Para mentor ini harus mampu menangkap gejolak psikologis yang mungkin timbul akibat trauma setelah menyaksikan kerusuhan sosial di wilayah mereka tinggal.
Tentu saja, masyarakat yang hidup di wilayah konflik punya banyak keterbatasan, baik dari aspek ekonomi maupun aspek lainnya, sehingga kehidupan mereka ditopang dana dari pemerintah atau lembaga lainnya. Karena itu, untuk pembiayaan pembuatan sekolah alternatif di wilayah konflik, sudah jelas para orang tua harus dibebaskan dari biaya pendidikan anak-anak mereka. (Icha/”PR”)*** PIKIRAN RAKYAT - Senin, 02 Mei 2005